|
Perhatikan Posisi Indonesia di Tahun 2050 |
SAYA sangat kagum pada beberapa media besar dan para akademisi
lulusan Barat yang tidak menuding kampanyenya Trisakti JW-JK dan Mandiri
Ekonominya PS-HR sebagai nasionalis sempit, sebagaimana mereka
melakukannya terhadap saya. Setelah JW-JK menjadi pasangan Presiden dan
Wakil Presiden terpilih, saya menjadi lebih kagum lagi saat mereka
menyetujui pengurangan subsidi BBM hanya dengan alasan subsidi salah
sasaran dan impor Migas telah membuat defisit anggaran dan defisit
transaksi berjalan terus membengkak hingga mencapai 3,6 persen terhadap
PDB.
Dalam soal subsidi, sebagaimana saya menyampaikan kajian ke berbagai
lembaga di negara ini dan kepada media massa cetak dan elektronik,
metode berpikir dan bersikapnya patuh dan layak (comply and proper) pada
konstitusi. Alhasil aliran berpikirnya menjadi sistemik struktural,
bukan hanya pada persoalan pasokan (supply) dan permintaan (demand),
tidak sekedar mekanisme pasar.
Kini setelah Trisakti (berdaulat dalam politik, berdikari dalam
ekonomi dan berkepribadian dalam budaya) dan Revolusi Mental telah
berhasil merebut hati pemilih Indonesia yang membawa JW-JK menjadi
pemimpin negara dan pemerintahan 2014-2019, DPP PDIP dalam Rakernas
IV-nya di Semarang 19-20 September lalu menyatakan bahwa Pemerintahan
JW-JK adalah momentum pembuktian bekerjanya idelologi (konstitusi) dalam
negara sehingga muncul kebanggaan sebagai bangsa. Jika demikian, apakah
mengurangi subsidi BBM merupakan pembuktian kepatuhan terhadap ekonomi
konstitusi dan kebijakan yang pantas karena tekad menegakkan Trisakti ?
Kita tentu ingat bagaimana JW menyatakan saat kampanye bahwa dia akan
patuh pada konstitusi dan bahwa hanya konstitusi yang bisa memerintah
pemimpin. Jauh sebelum itu, beberapa tokoh lulusan Barat yang dikenal
sebagai kelompok Mafia Berkeley, sejak era Soeharto sampai dengan era
reformasi sekarang ini menyatakan ekonomi konstitusi, atau meminjam
istilah Prof Mubiyarto sebagai ekonomi kerakyatan adalah ketinggalan
zaman. Di masa amandemen UUD 1945, mereka berjuang mengubahnya. Tetapi
perjuangan mereka gagal sebagian dan sukses sebagian. Kegagalan mereka
adalah gagal mengubah pasal 33 ayat (1,2,3) UUD 1945. Namun mereka
sukses memangkas penjelasannya sekaligus memasukkan ayat 4
.
Pada krisis 2008 dan 2011 yang melanda AS, saya kira mereka
terkejut
karena Presiden AS Barack H Obama menyatakan, “buy American.” Nicolas
Sarkozy, PM Perancis juga mengatakan yang sama, “buy European.” Memang
semua negara OECD dan negara pesaing baru OECD mengutamakan kepentingan
negaranya sendiri.
Orientasinya adalah ke dalam, ”inward looking,”
sebuah gagas yang saya lontarkan sejak saya di DPR dalam menghadapi
krisis multi dimensi 1997/1998. Gagas saya inilah yang dimaki-maki oleh
media besar dan beberapa tokoh lulusan Barat sebagai nasionalisme
sempit. Salah satu gagas saya yang waktu itu ditolak dan kemudian
sekarang diakui adalah pembatasan kepemilikan asing pada industri
perbankan.
Saya pun menolak mengklasifikasikan perbankan hanya universal banking
dan rural banking. Kini dalam pembahasan perubahan UU 10/1998 tentang
perubahan UU 7/1992 tentang Perbankan, gagas saya diadopsi dan
diadaptasi. Saya bertanya, ke mana saja mereka selama 16 tahun ? Begitu
juga saat tema Trisakti dan Ekonomi Mandiri mengemuka dalam kampanye
Pilpres 2014, tidakkah hal itu merupakan pengakuan bahwa ideologi
ekonomi yang mereka pilih dan terapkan selama puluhan tahun adalah
sebuah kesalahan dan mengakibatkan sirnanya kedaulatan ekonomi bangsa
dan lenyapnya kebanggaan sebagai bangsa?
Kini, soalnya bukan lagi pada tema kampanye atau pada retorika, tapi
pada seberapa kental dan mendalamnya kita berpegang pada komitmen
menjalankan dan menegakkan ekonomi konstitusi. Saya belum bisa menjawab
pertanyaan ini karena akan sangat tergantung pada siapa orang-orang yang
dipilih JW-JK untuk duduk sebagai pembantu Presiden dan Wapres.
Saya teringat pada 2004 bagaimana pentingnya Presiden SBY-JK untuk
tidak memilih Menteri-menteri kaki tangan asing dan berbau korupsi.
Sekarang, JW menyatakan tidak merekrut orang yang mempunyai beban masa
lalu. Nah, jika pengertian beban masa lalunya hanya pada persoalan
korupsi keuangan negara, dan mengabaikan korupsi konstitusi, saya kuatir
Revolusi Mental tinggal sebagai kata-kata.
Saya pun kuatir, hasil rekrutmen para Menteri malah membuktikan
berlanjutnya penghianatan terhadap ekonomi konstitusi. Insya Allah tidak
demikian karena saat mencium bendera merah putih di makam Si Pitung, JW
sendiri yang menyatakan bahwa saatnya perlawanan dimulai.
Jakarta, 21 September 2014
Ichsanuddin Noorsy
*Penulis merupakan pengamat ekonomi-politik dan kebijakan publik