21 February 2014

Setelah Sinabung dan Kelud Meletus, Bagaimana Status Gunung Api Lain?

Gunung Papandayan
Senin, 17 Februari 2014, – Di tengah suasana bencana letusan gunung berapi - setelah Sinabung lalu Kelud - ada baiknya kita mendengar para ahli. Orang-orang yang belajar khusus tentang alam Indonesia dan segenap bahaya yang ada di bawahnya. Sebab sebagian wilayah negeri kita ini memang bertahta di atas cincin api, ring of fire. Setidaknya 22 gunung api di Indonesia berada di atas normal. Dua gunung dalam status tertinggi atau Awas, tiga gunung dalam status Siaga dan banyak  juga beraktifitas dengan status Waspada. (Baca: Siaga, Gunung Rokatenda, Karangetang dan Lokon Terus Dipantau)
Kita juga perlu mendengarkan para ahli itu, bagaimana perkembangan sejumlah gunung itu. Letusan Sinabung lalu Kelud, apakah berpotensi membangunkan gunung api yang lain, agar kita waspada dan sekaligus tidak termakan informasi sesat yang menakutkan.
Sehari sesudah letusan Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur itu - meletus Kamis pekan lalu 13 Februari 2014 - Gunung Papandayan di Garut, Jawa Barat, memang mengalami peningkatan aktivitas vulkanik. Petugas pos pemantau Gunung Papandayan mencatat terjadi lebih dari 65 kali gempa vulkanik dan tektonik dalam perut Papandayan, Jumat 14 Februari 2014.
Saat ini gunung yang pernah meletus besar pada tahun 1772 itu, masuk level II atau berstatus waspada, bersama 16 gunung api lainnya di Indonesia. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terus memantau perkembangan aktivitas Gunung Papandayan yang fluktuatif ini. Beruntung intensitasnya sudah menurun.

“Minggu lalu memang sempat meningkat. Namun kini sudah turun dan belum ada peningkatan lagi,” kata Kepala PVMBG Hendrasto, Senin 17 Februari 2014. Rekaman seismograf memperlihatkan aktivitas gempa di Gunung Papandayan cenderung turun.

Karakteristik Gunung Papandayan berbeda dengan Gunung Kelud. Dampak erupsi yang ditimbulkan Papandayan juga tidak bakal sebesar Kelud. “Dampaknya maksimal tidak akan lebih dari 4 kilometer,” kata Hendrasto. Sementara letusan Kelud pekan lalu melontarkan hujan abu, pasir, dan kerikil sejauh 15 kilometer dengan ketinggian 3.000 meter.

Meski erupsi Papandayan diprediksi tak sebesar Kelud, namun tipe kedua gunung api ini sama, yakni stratovulkan dengan karakterikstik letusan eksplosif. Sebelum meletus pada tahun 2002, Papandayan memiliki empat kompleks kawah besar. Tapi setelah meletus, keempat kawah itu menjadi satu area kawah yang cukup besar.

Seperti Gunung Kelud, Papandayan juga punya sejarah letusan yang membahayakan jiwa meski jumlah korbannya tak sebesar erupsi Kelud. Tahun 1772, letusan Gunung Papandayan tercatat menghancurkan sedikitnya 40 desa dan menewaskan sekitar 2.951 orang.

Hendrasto meminta masyarakat di sekitar Gunung Papandayan untuk tak khawatir dan menunggu informasi resmi dari pemerintah terkait perkembangan aktivitas vulkanik gunung setinggi 2.665 meter di atas permukaan laut itu.
Sampai sekarang, Gunung Papandayan masih dibuka untuk jalur pendakian. Namun petugas melarang wisatawan mendekati area pada jarak satu kilometer dari kawah gunung karena kawah itu kerap mengeluarkan gas beracun.

Imbauan agar warga tak risau juga diterbitkan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho. “Makna dari status waspada adalah ada kenaikan aktivitas di atas level normal, apapun jenis gejalanya. Tapi tidak kritis,” kata dia. Pada tahap waspada, ujar Sutopo, yang penting dilakukan adalah melakukan sosialisasi, mengkaji potensi bahaya, mengecek sarana pemantau aktivitas vulkanik, dan memantau kondisi gunung.

Tujuh bulan waspada

Gunung Papandayan sudah tujuh bulan berstatus waspada, sejak 6 Juni 2013. Aktivitas gunung di tenggara Bandung itu sempat terpantau tinggi pada Mei 2013. Kepulan asap putih membumbung ke udara dengan ketinggian 30-50 meter. Masyarakat saat itu diimbau tak mendekati area dalam radius 2 kilometer dari kawah.

Berikut sejarah aktivitas vulkanik Gunung Papandayan menurut Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral:

Tahun 1772
Malam hari 11-12 Agustus, terjadi erupsi besar dari kawah sentral. Awan panas yang dilontarkan menewaskan sekitar 2.951 orang dan menghancurkan sekitar 40 perkampungan.

Tahun 1882
Tanggal 28 Mei, sore yang cerah, langit yang terang. Di Desa Campaka Warna terdengar suara gemuruh dari dalam tanah yang diduga berasal dari perut Gunung Papandayan.

Tahun 1923
Tanggal 11 Maret, terjadi erupsi. Papandayan melontarkan lumpur beserta batu-batu hingga jarak 150 meter. Ada 7 erupsi dari Kawah Baru. Letusan ini didahului oleh gempa yang terasa di Kecamatan Cisurupan, Garut.

Tahun 1924
Tanggal 25 Januari, suhu Kawah Mas naik dari 3.640 derajat Celcius menjadi 5.000 derajat Celcius. Selanjutnya terjadi erupsi lumpur dari Kawah Mas dan Kawah Baru.

Tanggal 16 Desember, terdengar suara guntur dan ledakan dari Kawah Baru. Letusan itu melontarkan batu dan lumpur ke arah timur mencapai Desa Cisurupan, membuat hutan di sekitar Kawah Baru gundul karena terkena material erupsi.

Tahun 1925
Tanggal 21 Februari, terjadi erupsi lumpur pada Kawah Nangklak yang disusul semburan kuaat gas dengan hujan lumpur.

Tahun 1926
Terjadi erupsi lumpur kecil bercampur belerang di Kawah Mas. Sementara dari Kawah Baru ada tiupan kuat yang melontarkan tepung belerang hingga mencapai jarak 300 meter ke arah timur laut, dan 100 meter ke barat daya. Lontaran tepung belerang itu diakhiri dengan erupsi lumpur belerang.

Tahun 1927
Tanggal 16-18 Februari, terjadi peningkatan vulkanik di Kawah Mas. Sampai sekarang kawah itu masih mengeluarkan kepulan asap fumarola dan solfatar, serta lumpur air panas.

Tahun 1942
Tanggal 15-16 Agustus, lahir lubang erupsi baru.

Tahun 1993
Tanggal 17 Juli, terjadi ledakan lumpur di Kawah Baru.

Tahun 1998
Bulan Juni, terjadi peningkatan jumlah gempa, dan ada semburan lumpur serta gas pada lubang fumarol Kawah Mas yang mencapai ketinggian kira-kira 5 meter.

Tahun 2002
Dimulai pada 11 November, terjadi peningkatan aktivitas vulkanik, menyusul erupsi besar pada 13-20 November. Aktivitas ini menurun hingga tanggal 21 Desember.

Akibat dari erupsi ini, terjadi longsoran pada dinding Kawah Nangklak, dan banjir di sepanjang aliran Sungai Cibeureum Gede hingga Sungai Cimanuk sejauh 7 kilometer. Banjir ini merendam beberapa rumah dan menyebabkan erosi besar sepanjang alirannya.

Anak Krakatau

Geliat gunung api di Pulau Jawa ini memicu kekhawatiran adanya peningkatan aktivitas vulkanik pada Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Sejak tahun 2012 sampai saat ini, Gunung Anak Krakatau pun berstatus waspada seperti Gunung Papandayan. “Dari pengamatan, sampai hari ini pengamatan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau masih normal,” kata Kepala Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau, Anton Pambudi, kepada VIVAnews.

Berdasarkan pemantauan terakhir, Minggu 16 Februari 2014, aktivitas Gunung Anak Krakatau ditandai dengan 34 gempa yang terdiri dari 1 kali gempa vulkanik dalam, 31 kali gempa vulkanik dangkal, 1 kali gempa embusan, dan 1 kali gempa tektonik.

Semua aktivitas itu, ujar Anton, amat normal bagi sebuah gunung api. PVMBG menetapkan prosedur standar, yakni merekomendasikan kepada masyarakat agar tak mendekat ke area dalam radius satu kilometer dari puncak gunung.

Anton menyatakan, seluruh alat pantau yang dipasang di Gunung Anak Krakatau dalam kondisi baik. Tahun lalu, PVMBG menambah dua seismograf dan alat sensor getaran yang biasa digunakan untuk mendeteksi gempa bumi atau getaran pada permukaan tanah.

Alat tambahan tersebut dipasang di pantai Gunung Anak Krakatau dan Pulau Panjang. Sementara dua alat lama sebelumnya dipasang di jalur lava dan punggung bukit Gunung Anak Krakatau.

Sumber : Viva.co.id

0 comments:

Post a Comment